Apa kabar?

Halo, Zee.
Apa kabar? Kuharap baik, kuyakin semesta selalu punya cara untuk membuatmu baik.

Banyak yang ingin aku tanyakan padamu, Zee. Mungkin, perihal hidupmu.

Dimulai dengan, bagaimana persiapan ke Jakarta? Sebentar lagi citamu akan jadi nyata. Aku turut senang akan semua itu.

Namun sekarang bukan itu yang jadi titik fokus pembicaraan. Pergimu bukan topik yang bagus, sebenarnya. Tidak akan pernah terdengar baik.

Menghitung bulan, menghitung waktumu untuk beranjak pergi.

Sebenarnya ingin kusampaikan langsung padamu. Tapi tidak, karena realita terlalu curam jika kuselam. Atma ini sudah penat menyimpan sendiri dalam kelam.

Atma yang kupikir akan melupakanmu ternyata semakin terjatuh padamu.

Sebentar lagi kamu akan segera beralih dari kota yang melukis cerita kita, Zee. Kota yang mungkin tidak akan kamu rindukan, lagi. Mungkin juga kamu akan menemukan rumah di sana. Dan itu tidak berlaku bagiku karena aku masih memiliki rumah.

Rumah yang kita bangun kala itu, masih kutempati dan masih kukuh. Bahkan bertambah indah.

Rumah yang selalu menunggu kedatanganmu, dan ternyata kamu tidak hadir walau hanya sekedar bernostalgia.

Bahkan, pajangan potret itu masih ada, Zee. Masih tersusun rapi. Tidak ingin kubuang, karena percuma juga. Ingatan tentangmu tidak akan ikut terbuang.

Tapi, Zee.
Waktu kamu memutuskan untuk pergi, kamu bilang, "Vi, semoga kamu menemukan lelaki baik"

Maaf, perkataanmu itu salah. Atau aku saja yang belum bisa melakukannya.

Tidak ada lelaki yang baik, Zee. Sejak kamu pergi, aku berhenti percaya kepada kebaikan. Ya, aku tahu itu sesuatu yang salah. Tapi, semua kebaikan rasanya hanya akan menuntunmu untuk masuk lebih dalam lagi.

Dan waktu kamu bilang, "Maaf telah menjadi lelaki yang buruk, Vi"

Dengar kamu bilang begitu, ingin kubilang, "Enggak, kamu baik Zee. Terlalu baik makanya kamu memilih pergi, bukan?"

Namun, keputusanmu berkendara tanpa membawaku menjadi alasan, mengapa suara itu tidak pernah terucap.

Tidak selamanya tinggal-meninggalkan itu salah, kan? Makanya aku menerima.
Lebih tepatnya, berusaha menerima.

Selalu kuandaikan kamu akan menjemput dan membawaku ke sebuah perhentian yang tidak ada ujungnya.
Selalu kuandaikan kamu akan datang dan tidak akan bersuara mengenai kepergian.

Sebuah kepergian yang tidak ada dalam rencanaku.

Jika orang lain menilai cerita kita, pasti mereka akan marah padaku karena selalu membenarkan kepergian sepihakmu itu.

Ya, kepergian yang tetap meninggalkan jejak. Meninggalkan luka yang kian retak, mendatangkan mimpi buruk yang selalu muncul tanpa diminta.

Bohong jika kubilang itu gak apa-apa. Tapi, mereka harus belajar, Zee. Gak semua cinta akan menyatu dengan pemiliknya. Gak semua cerita harus bahagia, seperti cerita kita.

Satu hal lagi, Zee.
Semoga Jakarta baik padamu, ya.
Semoga bisa jaga kamu dari rumah yang rusak.

Aku tidak tahu bagaimana nanti kisahmu bersama kota asing yang akan jadi pijakan barumu, yang mungkin menjadi tempat pelabuhanmu. Kuharap sebaik yang kukira.

Aku selalu menunggu cerita barumu bersama Jakarta, Zee.

Semesta turut bersamamu, begitu pun dengan aku.

Percayalah, kamu masih jadi kata nomor satu yang kutuliskan dalam sebuah cerita.

-Dari yang menuliskanmu, Emer.-

Komentar