[Meraung pada Kenyataan]
Dungu sekali kabar burung kala itu tak aku percaya.
Dengan tegas mengangkat dirimu yang pada kenyataan sedang menjatuhkan diriku.
Apa aku terlalu bodoh? Hingga tak peka sedikitpun bahwa kau sudah enggan menjalin relasi denganku.
Kalang kabut aku mencarimu tapi dengan mudah kau berkata "selesai".
Tersengut-sengut tak akan cukup meyakinkanmu untuk tidak pergi.
Dulu aku tak percaya dengan pepatah:
"Jika dia ingin pergi maka seribu satu cara untuk membuatnya bertahan, ia tetap akan pergi"
Namun, sekarang. Aku percaya. Percaya pada pepatah itu.
Jujur, saat kau mengatakan selesai, pertahanan diri lungsur seketika.
Ketika hati ini beritikad ternyata kamu tidak demikian, dari awal.
Aku keliru, ketika aku percaya bahwa kita adalah satu, aku percaya bahwa kita saling mengenal.
Aku tidak mengenalmu, seutuhnya.
Sekarang mungkin aku masih mengairi tempat tidur dengan air mata tapi akan ada saatnya aku akan bahagia seutuhnya.
Sekarang mungkin aku tak menerima kenyataan yang ada dan masih terus saja menampar dengan mimpi yang indah tapi ingat ketika diri ini menerima semua itu, semua tentangmu akan menjadi hal paling rendah dalam ingatan.
Kau tahu? sekarang bukan masanya : datang, bilang cinta, lalu pergi.
Tapi sepertinya restu tak memihak kepada kita.
Aku tak mau mengguruimu, aku tak mau mendikte perlakuanmu terhadapku.
Biar kau belajar sendiri, bahwa sebab-akibat itu benar ada dan perlu dipahami.
Harusnya, dulu, sebelum kau mencoba untuk menelaahku, kau harus mengkaji dirimu sendiri. Setelah itu mungkin baru kau tahu, sebesar apa harapan yang harus kauberikan, agar di akhir aku tak merasa terlalu dikecewakan.
Terhempas dari langit lalu diangkat kembali dan dijatuhkan lagi bukan sebuah gurauan, sayang.
03/04/19
Komentar
Posting Komentar