Ingat jalan pulang

Siang itu, aku duduk di salah satu bangku yang ada di lapangan tengah kota. Tidak ada aktivitas. Sepi. Kesukaanku.

Angin menghempaskan rambut, terurai indah. Menyapu kulit, terasa sejuk. Tak lupa juga iringan musik klasik.

Kamu tahu? Ini kali pertama aku menginjakkan kaki ke tempat seindah ini, padahal sudah hampir lima belas tahun aku menghuni kota ini.

Dulu, tidak ingin ke sini. Kenapa? Jawabannya ramai. Terlalu ramai. Kamu sendiri tahu aku hanya berteman dengan sepi.
Mungkin, sepi adalah tempat teramai yang kupunya.

Aku candu, semesta.
Candu dengan tempat ini.
Suara kendaraan lalu lalang, burung-burung berterbangan, pohon yang tak lagi mampu menahan daunnya dan langit biru yang nampak kelabu. Ah, terlalu indah.

Namun, semesta tidak ingin aku lama-lama di sini. Langit kelabu yang kulihat tadi, kini mulai menunjukkan rintiknya.

Kumatikan musik yang disetel, melangkah ke sebuah tempat. Entah di mana. Penting bisa untuk berteduh. Berteduh di bawah naungan yang tidak kutahu apa namanya. Andai saja... Sudahlah.

Kamu tahu? Saat aku memutuskan untuk duduk, begitu banyak estimasi yang beradu dalam kepala.

Jika aku duduk dan menutup mata, kamu akan datang?

Jika aku diam di sini, kamu akan mencari?

Atau,

Jika aku di sini apakah kamu akan kembali?

Namun, ujung-ujungnya aku tetap duduk.
Bukan karena perihal estimasi itu.

Tapi aku sadar Sadar bahwa, kata 'Jika' tak akan membawamu pulang.

Sama seperti rintik yang menjelma hujan. Mungkin, kamu seperti itu.
Jika kamu datang ke sini, tetap pada akhirnya akan lari untuk berlindung.

Karena nyatanya, yang indah tidak cukup membuatmu setia. Bertahan tidak cukup membuatmu betah.

Dua tahun berlalu tidak akan cukup melumpuhkan apapun tentangmu, bagaimanapun caranya. Tidak bisa.

Jalan pulang pasti selalu kamu ingat, bukan?

Walau akhirnya kamu akan pindah juga.

(13/05/2020)

Komentar